MAKALAH PSIKOLOGI KEPRIBADIAN Analisis Faktor Dan Teori Operant-Reinforcement

 



            Dosen Pengampu : Asep Darmawan

 

 


  

 

Oleh: Nina Nurhasanah

NIM: 2122.1.1.0788

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAIM) 

MUHAMMADIYAH GARUT

TAHUN 202


 

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga penulis Dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Analisis Faktor dan Teori Operant-Reinforcement” 

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telahmembantu penulis Dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberimotivasi dan dorongan Serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik Dan tepat pada waktunya. 

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapatkesalahan dan Kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran darisemua pihak demi Perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang. 

 

Bungbulang, 14 November 2021

 

Penyusun.

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR ISI

 KATA PENGANTAR............................................................................................................................i 

 DAFATR ISI.........................................................................................................................................ii   

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................... 1 

A. Latar Belakang................................................................................................................................. 1 

B. Tujuan.............................................................................................................................................. 2

C. Rumusan  Masalah........................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................... 3

A. Analisis Faktor................................................................................................................................ 3

B. Teori Operant-Reinforcement......................................................................................................... 9

BAB III PENUTUP............................................................................................................................ 13

A. Kesimpulan.................................................................................................................................... 13

B. Saran.............................................................................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................... 14

 

 

 

 

 

 DOWNLOAD FILE

 

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 

Kepribadian seseorang adalah kombinasi unik ciri ciri psikologis yang mempengaruhi bagaimana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Kepribadian seseorang adalah kombinasi unik dari karakteristik psikologi yang mempengaruhi bagaimana seseorang bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain (Robbins&Coulter, 2007). Sebuah badan riset terkemuka meyakini bahwa ada 5 dimensi kepribadian dasar yang mendasari semua dimensi lainnya. 

         Menurut Wikipedia psikologi kepribadian adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari tentang kepribadian manusia melalui tingkah laku atau sikap sehari hari yang menjadi ciri khas seseorang tersebut.  Kepribadian merupakan Salah satu bagian atau ciri khas yang istimewa dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Psikologi kepribadian sangatlah penting untuk mengetahui dan mempelajari kepribadian seseorang.  

       Dewasa ini, kepribadian seseorang dapat dengan mudah di pelajari bahkan tidak sedikit orang orang yang berprofesi sebagai psikiater dan pakar pakar lainnya yang mempelajari kepribadian seseorang. Menurut pandangannya kepribadian seseorang dapat diukur dengan menggunakan atau melakukan penelitian pembelajaran melewati analisis, salah satunya adalah analisis faktor. 

       Tidak hanya berdasarkan analisis saja kepribadian seseorang dapat dipelajari, tetapi dengan melibatkan teori teori yang memungkinkan mendukung dalam proses penelitian kepribadian berlangsung, sebuah analisis tidak akan dapat dikatakan analisis tanpa berdasarkan sebuah teori, begitu juga sebaliknya teori tidak akan digunakan jika analisis tidak dilakukan.  

       Banyak sekali persepsi mengenai hal hal tentang kepribadian seseorang. Tentu saja dalam mempelajari kepribadian, maka dibutuhkan sumber sumber yang dipercaya, yang dapat dibuktikan keakuratannya. Dalam hal tersebut, tidak dapat diragukan lagi bahwa dalam pembelajaran psikologi kepribadian dibutuhkan hal hal yang mendasari bahwa analisis faktor tersebut memang benar adanya dan dapat dipertanggungjawabkan keakuratannya. 

B. Tujuan  

                 Adapaun tujuan pembuatan makalah ini adalah: 

1.       Untuk mengetahui tentang anlasis faktor. 

2.       Untuk mengetahui teori operant-reinforcement 

C.  Rumusan Masalah 

       Adapun permasalahan yang kami angkat dalam penelitian ini adalah: 

1.       Apa pengertian analisis faktor? 

2.       Apa yang dimaksud dengan teori operant-reinforcement? 

 

 

 

 

 

 

 

                   BAB II PEMBAHASAN

A. Analisis Faktor 

Analisis faktor adalah sebuah teknik yang digunakan untuk mencari faktorfaktor yang mampu menjelaskan hubungan atau korelasi antara berbagai indikator independen yang diobservasi. 

Model kepribadian lima faktor. Dalam psikologi , model kepribadian individu yang membaginya menjadi lima sifat. Ciri-ciri kepribadian dipahami sebagai pola pemikiran, perasaan , dan perilaku yang relatif bertahan sepanjang rentang kehidupan individu. 

Ciri-ciri yang membentuk model lima faktor adalah ekstraversi, neurotisisme, keterbukaan terhadap pengalaman, keramahan, dan kesadaran. Extraversion, kadang-kadang disebut sebagai operasi, ditunjukkan oleh perilaku asertif , energik, dan suka berteman . Neurotisisme pada dasarnya setara dengan ketidakstabilan emosional dan dapat dilihat pada perilaku yang mudah tersinggung dan murung. Keterbukaan terhadap pengalaman, kadang-kadang disebut sebagai intelek, menunjukkan rasa ingin tahu, perhatian, dan kecenderungan individu.untuk tugas-tugas yang menantang secara intelektual. Agreeableness ditunjukkan dalam perilaku empatik, simpatik, dan baik hati. Akhirnya, kesadaran mengacu pada rasa tanggung jawab dan tugas individu serta pandangan ke depan.

Model lima faktor dikembangkan pada 1980-an dan 90-an sebagian besar berdasarkan hipotesis leksikal , yang menyarankan bahwa sifat-sifat dasar kepribadian manusia, seiring waktu, dikodekan dalam bahasa. Menurut hipotesis ini, tugas psikolog kepribadian adalah untuk memisahkan ciri-ciri penting kepribadian dari ribuan kata sifat yang ditemukan dalam bahasa yang membedakan orang menurut disposisi perilaku mereka . Hipotesis leksikal dapat ditelusuri ke tahun 1930-an, dan munculnya analisis faktor ganda (metode statistik untuk menjelaskan perbedaan individu dalam berbagai atribut yang diamati dalam hal perbedaan dalam jumlah yang lebih kecil dari atribut yang tidak teramati, atau laten,) di dekade yang sama memberikan empirismetode untuk memusnahkan deskripsi verbal ini. Pada paruh kedua abad ke-20, psikolog kepribadian pada kenyataannya mengandalkan terutama pada analisis faktor untuk menemukan dan memvalidasi banyak teori sifat mereka. Sejumlah besar psikolog kepribadian menyimpulkan bahwa model lima faktor mewakili hasil paling sukses dari upaya ini. 

Tiga jalur penelitian telah memberikan dukungan untuk validitas model lima faktor. Pertama dan terpenting, lima faktor secara konsisten muncul dari analisis faktor yang dilakukan pada berbagai kumpulan data yang terdiri dari istilah sifat deskriptif dari sejumlah bahasa, termasuk Inggris, Cina, dan Jerman. Kedua, studi kembar dan adopsi telah mengungkapkan komponen genetik yang substansial untuk lima faktor. Ketiga, kelima faktor tersebut telah diterapkan di seluruh rentang kehidupan manusia. Misalnya, penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak menggunakan lima faktor ketika menggambarkan diri mereka sendiri dan orang lain secara bebas, dan deskripsi bahasa alami orang tua dari anak-anak mereka dapat diklasifikasikan menurut lima faktor. Posisi relatif individu pada lima faktor juga telah terbukti cukup stabil di sebagian besar rentang kehidupan orang dewasa.Upaya yang lebih baru telah berusaha untuk secara eksplisit memperlakukan lima faktor sebagai temperamen yang hadir sejak lahir, sehingga menempatkan model lima faktor tepat dalam perkembangan. 

Terlepas dari semua keberhasilannya, model lima faktor telah dikritik habishabisan oleh sejumlah sarjana. Salah satu masalah menyangkut tidak adanya komprehensifteori. Hipotesis leksikal, meskipun menarik dan rasional, dianggap oleh beberapa sarjana terlalu sempit untuk dikualifikasikan sebagai teori kepribadian. Isu terkait menyangkut sifat generik dari faktor-faktor, yang diduga terlalu luas untuk memberikan pemahaman yang cukup kaya tentang kepribadian manusia. Kritik juga telah mengangkat keprihatinan metodologis yang penting, yang berkisar pada penggunaan analisis faktor sebagai alat utama penemuan dan validasi untuk metode lima faktor. Akhirnya, ketidaksepakatan di antara ahli teori sifat juga menonjol dalam literatur. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tiga sifat sudah cukup: ekstraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (ditandai dengan perilaku egosentris, dingin, dan impulsif). Yang lain berpendapat bahwa sejumlah besar sifat diperlukan untuk memberikan gambaran yang komprehensiftaksonomi. 

 

Model kepribadian lima faktor

1. Psikologi oleh James W. Grice. 

Model kepribadian lima faktor , dalam psikologi , model kepribadian individu yang membaginya menjadi lima sifat. Ciri-ciri kepribadian dipahami sebagai pola pemikiran, perasaan , dan perilaku yang relatif bertahan sepanjang rentang kehidupan individu. 

Ciri-ciri yang membentuk model lima faktor adalah ekstraversi, neurotisisme , keterbukaan terhadap pengalaman, keramahan, dan kesadaran. Extraversion, kadang-kadang disebut sebagai operasi, ditunjukkan oleh perilaku asertif , energik, dan suka berteman . Neurotisisme pada dasarnya setara dengan ketidakstabilan emosional dan dapat dilihat pada perilaku yang mudah tersinggung dan murung. Keterbukaan terhadap pengalaman, kadang-kadang disebut sebagai intelek, menunjukkan rasa ingin tahu, perhatian, dan kecenderungan individu.untuk tugas-tugas yang menantang secara intelektual. Agreeableness ditunjukkan dalam perilaku empatik, simpatik, dan baik hati. Akhirnya, kesadaran mengacu pada rasa tanggung jawab dan tugas individu serta pandangan ke depan.

The five-factor model was developed in the 1980s and ’90s largely on the basis of the lexical hypothesis, which suggested that the fundamental traits of human personality have, over time, become encoded in language. According to this hypothesis, the task of the personality psychologist is to cull the essential traits of personality from the thousands of adjectives found in language that distinguish people according to their behavioral dispositions. The lexical hypothesis can be traced to the 1930s, and the advent of multiple-factor analysis (a statistical method for explaining individual differences in a range of observed attributes in terms of differences in a smaller number of unobserved, or latent, attributes) in the same decade provided an empirical method for culling these verbal descriptions. In the second half of the 20th century, personality psychologists in fact relied primarily on factor analysis to discover and validate many of their trait theories. A large number of personality psychologists concluded that the five-factor model represented the most successful outcome of these efforts.

Three lines of research have provided support for the validity of the fivefactor model. First and foremost, the five factors have consistently emerged from factor analyses conducted on numerous data sets composed of descriptive trait terms from a number of languages, including English, Chinese, and German. Second, twin and adoption studies have revealed a substantial genetic component to the five factors. Third, the five factors have been applied across the human life span. For instance, studies have shown that children use the five factors when freely describing themselves and others, and parents’ naturallanguage descriptions of their children can be classified according to the five factors. Individuals’ relative standings on the five factors have also been shown to be fairly stable across much of the adult life span. More-recent efforts have sought to explicitly treat the five factors as temperaments that are present from birth, thus placing the five-factor model squarely in a developmental konteks. 

Terlepas dari semua keberhasilannya, model lima faktor telah dikritik habis-habisan oleh sejumlah sarjana. Salah satu masalah menyangkut tidak adanya komprehensifteori. Hipotesis leksikal, meskipun menarik dan rasional, dianggap oleh beberapa sarjana terlalu sempit untuk dikualifikasikan sebagai teori kepribadian. Isu terkait menyangkut sifat generik dari faktor-faktor, yang diduga terlalu luas untuk memberikan pemahaman yang cukup kaya tentang kepribadian manusia. Kritik juga telah mengangkat keprihatinan metodologis yang penting, yang berkisar pada penggunaan analisis faktor sebagai alat utama penemuan dan validasi untuk metode lima faktor. Akhirnya, ketidaksepakatan di antara ahli teori sifat juga menonjol dalam literatur. Beberapa peneliti berpendapat bahwa tiga sifat sudah cukup: ekstraversi, neurotisisme, dan psikotisisme (ditandai dengan perilaku egosentris, dingin, dan impulsif). Yang lain berpendapat bahwa sejumlah besar sifat diperlukan untuk memberikan gambaran yang komprehensiftaksonomi . 

Model lima faktor kemungkinan akan terus berlanjut di masa mendatang sebagai model sifat populer dari kepribadian manusia. Lima faktor telah terbukti sangat berguna bagi para peneliti dan praktisi di berbagai bidang, seperti domain sosial, klinis, dan industri-organisasi. Model ini tidak diragukan lagi telah menghasilkan banyak penelitian dan diskusi, dan telah memainkan peran penting dalam merevitalisasi disiplin psikologi kepribadian.  

Tahun 1980-an dan awal 1990-an, kebanyakan psikolog kepribadian mulai condong pada model lima faktor. Big Five Personality telah ditemukan di antara beragam budaya, dan menggunakan banyak bahasa (McCrae & Allik, dalam Feist & Feist, 2009). Selain itu, Costa & McCrae menambahkan Big Five Personality bertahan seiring pertambahan usia, apabila tidak terdapat penyakit yang merusak otak seperti, Alzheimer. Hal ini menekankan bahwa Big Five Personality memiliki kecenderungan untuk mempertahankan struktur kepribadian yang sama (Feist & Feist, 2009). 

Menurut De Raad (dalam Sudjiwanati, 2008) Big Five Personality merupakan pendekatan dalam psikologi kepribadian yang mengelompokkan sifat kepribadian dengan analisis faktor. Feist & Feist (2010) menyatakan bahwa big five personality adalah salah satu teori kepribadian yang dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku secara baik. Big Five Personality merupakan suatu pendekatan yang digunakan dalam psikologi untuk melihat kepribadian manusia melalui sifat yang tersusun dalam lima buah domain kepribadian yang telah dibentuk dengan menggunakan analisis faktor. Big Five Personality tersebut meliputi neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. 

McCrae & John (1990) mendefinisikan model big five personality merupakan suatu organisasi hirarki dari karakteristik kepribadian dalam bentuk lima dimensi dasar. Kelima dimensi dasar yaitu neuroticism, Extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness. Menurut Pervin (2010) Big Five Personality in trait factor theory, the five major trait categories including emotionality, activity, and Sociability factors. Artinya, bahwa big five personality merupakan teori faktor sifat, dengan lima kategori Sifat secara umum meliputi emosi, tindakan, dan faktor sosial. 

Dari pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan trait personality dalam penelitian ini adalah Big five trait personality yang merupakan pendekatan psikologi yang memiliki lima sifat kepribadian Neuroticism, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness yang digunakan untuk menganalisa kepribadian seseorang. Model ini merupakan kerangka kerja untuk melihat atau menguji secara sistematis psikofisiologi, perilaku, psikologi dan genetik berdasarkan sifat yang digunakan untuk mendeskripsikan kepribadian. 

 

2. Deskripsi Alat Ukur Trait Personality 

Ketahanan model lima faktor telah diamati melalui metode, beberapa bahasa, dan budaya (McCrae & Costa, Dalam Caprara & Cervone, 2000) penelitian dilakukan pada tahun 1980-an dan 1990-an.  Pendukung dari Big five (Goldberg & John, dalam Caprara & Cervone, 2000) dan model lima faktor (McCrae & Costa, Dalam Caprara & Cervone, 2000) menyatakan bahwa fakta yang paling mendasar dari psikologi kepribadian adalah kecenderungan dapat menggambarkan dengan baik sifat dari lima dimensi. Model kepribadian lima Faktor merupakan teori yang menjelaskan hubungan dalam kognisi, afeksi, dan perilaku (Caprara & Cervone, 2000). 

Alat ukur yang peneliti gunakan untuk mengukur big five trait personality yaitu dengan menggunakan BFI (Big Five Inventory). Peneliti mengadaptasi alat ukur BFI, karena memiliki nilai reliabilitas yang tinggi ratarata diatas .80 pada sampel AS dan Kanada. Keuntungan BFI (Big Five Inventory) adalah lebih efisien, item pada BFI lebih pendek, dan lebih mudah dipahami (John, Naumann & Soto, dalam John, Robins & Pervin, 2008). Pada penelitian ini, peneliti mengembagkan alat ukur BFI yang Terdiri dari 44 item.

Setelah peneliti mengadaptasi BFI, hasilnya menjadi 60 item yang mewakili kelima dimensi dari 30 sifat dari trait personality big five. 

 

B. Teori Operant-Reinforcement 

Dalam bukunya yang berjudul about behaviorism seorang tokoh psikologi behaviorisme, B.F. Skinner, mengemukakan bahwa tingkah laku itu terbentuk oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri (Bruno, 1987). Dalam teorinya operant conditioning (pembiasaan perilaku respon) disebutkan bahwa respon terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan terjadi akibat adanya reinforcement (penguatan). Reinforcer ini menimbulkan dan meningkatkan respon-respon tertentu, akan tetapi tidak terjadi dengan sengaja. Jadi reinforcer ini merupakan proses alamiah yang memang tidak disusun sebelumnya. 

Teorinya ini didasarkan pada penelitianya terhadap seekor tikus yang diletakkan didalam skinner box. Skinner box ini terdiri atas tombol yang bilamana ditekan akan mengeluarkan makanan. Dalam penelitiannya, mula-mula tikus akan mengeluarkan emitted behavior  yang tidak mempedulikan stimulus-stimulus tertentu. Namun, secara tidak sengaja si tikus menginjak pengungkit yang akan mengeluarkan makanan. Dalam percobaannya yang dilakukan secara terus-menerus inilah didapatkan hasil bahwa tikus akan semakin cepat menginjak pengungkit untuk mendapatkan makanan dibanding waktu pertama kalinya. 

Makanan disinilah yang merupakan bentuk reinforcement, sedangkan menginjak pengungkit merupakan tingkah laku operant yang akan terus meningkat seiring terjadinya reinforcement tersebut. Namun, jika tidak terdapat reinforcement, maka tingkah laku akan menurun bahkan menghilang. Untuk menjelaskan proses keduanya maka bisa dilihat dari law of effect. 

Terdapat 2 law of effect yang mempengaruhi teori operant conditioning, yakni: law of operant conditioning dan law of operant extinction. Law of operant conditioning terjadi jika munculnya tingkah laku operant diikuti dengan reinforcment, ketika itu terjadi terus menerus maka akan terjadi penguatan terhadap tingkah laku itu. 

Law of operant extinction dapat terjadi jika tingkah laku yang telah diperkuat sebelumnya tidak lagi diiringi oleh stimulus penguat (reinforcment) sehingga tingkah laku tersebut akan menurun intensitasnya bahkan menghilang. 

Sedangkan dalam pemberian reinforcment itu sendiri terdiri dari 2 bentuk, yaitu positive reinforcment dan negative reinforcment. Positive reinforcement terjadi ketika perilaku diikuti penambahan stimulus yang menghasilkan penguatan perilaku dengan memberikan kenyamanan pada sipelaku. Contohnya adalah seperti yang terjadi pada penelitian B.F Skinner kepada tikus yang berada dalam skinner box. 

Lalu reinforcement negative terjadi ketika perilaku diikuti oleh pengurangan stimulus yang menghasilkan penguatan perilaku dengan mengurangi ketidaknyamanan. Contohnya adalah anak yang mempunyai beban rumah tangga seperti menyapu, mengepel dan mencuci, akan tetapi ia malas sekali belajar. Lalu suatu saat ia rajin belajar, ketika itu ibu dari si anak mengurangi beban si anak untuk menyapu, mengepel dan mencuci, sehingga akan terjadi penguatan untuk selalu rajin belajar. 

      Reinforcement positive vs reward dan reinforcement negative vs punishment.  

Telah disinggung sebelumnya mengenai reinforcement positive dan negative. Lalu apa beda keduanya dengan punishment dan reward? 

Secara simple dijelaskan bahwa punishment merupakan stimulus yang diberikan ketika perilaku terjadi untuk mengurangi perilaku tersebut. Contohnya adalah ketika siswa terlambat datang sekolah, lalu ia dijemur ataupun disuruh berlari mengelilingi lapangan.  

Sedangkan reward adalah pemberian hadiah ketika terjadi perilaku yang diharapkan dengan tujuan terjadi penguatan perilaku. Pemberian stimulus ini akan mendatangkan efek rewarding. Contohnya jika anak membersihkan rumah maka ia akan diberikan sejumlah uang. 

Namun antara rewarding dan punishment pada dasarnya tidak akan memberikan dampak yang signifikan bagi si pelaku. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi effektif atau tidaknya sebuah punishment maupun rewarding. 

1.     Immediacy (kesegeraan) 

Sebuah pemberian punishment maupun reward dapat effektif jika pemberian itu dilakukan dengan segera. Artinya tidak terjadi penundaan ketika perilaku tersebut muncul. 

2.     Contigency (konsistenan) 

Jika pemberian punishment maupun reward tidak dilakukan secara terus menerus atau tidak konsisten maka yang terjadi adalah tidak terjadi internalisasi nilai-nilai dari pemberian punishment dan reward tersebut. 

3.     Establishing operations (kejadian yang merubah nilai) 

Ketika nilai-nilai telah masuk melalui pemberian punishment maupun reward, kadangkala terjadi sebuah kejadian dimana nilai-nilai tersebut dapat berubah. Contoh jika ia belajar bahwa tidak boleh berkata kasar, namun ketika ia berada diluar lingkungannya ia melihat banyak orang yang berkata kasar, maka akan terjadi perubahan nilai-nilai yang telah ditanamkan sebelumnya melalui proses punishment dan rewarding ini. 

4.     Individual differences (perbedaan individual) 

Pemberian punishment dan rewardin juga harus melihat perbedaan individu seperti usia, budaya, agama, status sosial, dll. Ketika seorang anak menunjukan perilaku baik maka ia diberikan reward sebuah permen. Namun  jika hal ini dilakukan kepada orang dewasa maka belum tentu langkah (pemberian reward) ini effektif terhadap si orang dewasa ini.       

 

Kekurangan dan kelemahan dari teori Operant conditioning  

Teori-teori operant conditioning maupun operant classical seringkali dipertanyakan secara prinsip penggunaannya. Banyak ilmuwan melihat bahwa teori-teori belajar semacam ini secara prinsip bersifat behavioristik yaitu hnay melihan dari timbulnya perilaku jasmaniah yang dapat diukur. Sedangkan pada kenyataannya perilaku  jasmaniah ini hanya merupakan sebagian dari gejala-gejalanya,bukan mempresentasikan keseluruhan perilaku dari seseorang. Selain itu teori ini juga dianggap bersifat otomatis-mekanis sehingga perilaku yang terjadi terkesan seperti kinerja mesin dan robot yang memang dapat diatur sebelumnya. Akan tetapi teori-teori belajar dari B.F Skinner, Ivan Pavlov, maupun Thorndike telah banyak dipercaya oleh para ahli dalam hal pendidikan seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. 

     Diantara kelemahan-kelemahan dari teori B.F skinner adalah

1.       Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal proses belajar merupakan proses mental yang tidak dapat dilihat dan diamati dari luarnya saja. Perilaku luarnya hanya menggambarkan sedikit dari proses mental tersebut yang terjadi didalamnya. Ibarat sebuah gunung es. 

2.       Proses belajar bersifat otomatis-mekanis. Kesan-kesan terhadap proses belajar ibarat sebuah mesin dan robot. Hal ini jelas menghilangkan sifat kemanusiaan manusia. Seperti yang telah diketahui sebelumnya manusia selalu mempunyai selfdirection, self control, ideal self, dan lain-lain. Sehingga tidak mungkin menjelaskan perilaku manusia hanya seperti robot. 

3.       Proses belajar manusia dalam teori ini cenderung disamakan dengan perilaku hewan. Pada dasarnya banyak sekali perbedaan karakter yang mencolok antara hewan dengan manusia. 

 

 

 

 

 DOWNLOAD FILE

 

 

 

 

 

                       BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 

    Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ciri-ciri yang membentuk model lima faktor adalah ekstraversi, neurotisisme , keterbukaan terhadap pengalaman, keramahan, dan kesadaran. Extraversion, kadang-kadang disebut sebagai operasi, ditunjukkan oleh perilaku asertif , energik, dan suka berteman . Neurotisisme pada dasarnya setara dengan ketidakstabilan emosional dan dapat dilihat pada perilaku yang mudah tersinggung dan murung. Keterbukaan terhadap pengalaman, kadang-kadang disebut sebagai intelek, menunjukkan rasa ingin tahu, perhatian, dan kecenderungan individu.untuk tugas-tugas yang menantang secara intelektual. Agreeableness ditunjukkan dalam perilaku empatik, simpatik, dan baik hati. Akhirnya, kesadaran mengacu pada rasa tanggung jawab dan tugas individu serta pandangan ke depan. 

      Reinforcment itu sendiri terdiri dari 2 bentuk, yaitu positive reinforcment dan negative reinforcment. Positive reinforcement terjadi ketika perilaku diikuti penambahan stimulus yang menghasilkan penguatan perilaku dengan memberikan kenyamanan pada sipelaku. Contohnya adalah seperti yang terjadi pada penelitian  B. F Skinner kepada tikus yang berada dalam skinner box. 

Lalu reinforcement negative terjadi ketika perilaku diikuti oleh pengurangan stimulus yang menghasilkan penguatan perilaku dengan mengurangi ketidaknyamanan. Contohnya adalah anak yang mempunyai beban rumah tangga seperti menyapu, mengepel dan mencuci, akan tetapi ia malas sekali belajar. Lalu suatu saat ia rajin belajar, ketika itu ibu dari si anak mengurangi beban si anak untuk menyapu, mengepel dan mencuci, sehingga akan terjadi penguatan untuk selalu rajin belajar. 

 

B. Saran  

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang. 





                    DAFTAR PUSTAKA

http://borneoneo.wordpress.com/2008/09/16/tujuan-dan-fungsi-supervisi/ 

Caprara, Gian Vittori., & Cervone, Daniel. (2000). Personality: determinants, dynamics, and potentials. UK: Cambridge University Press. 

Feist, Jess., & Feist, Gregory. J. (2009). Theories of personality. 7Th edition. New York: McGraw-Hill. 

Feist, Jess., & Feist, Gregory J. (2010). Teori kepribadian: Theories of personality.

Jakarta: Salemba Humanika. 

John, O.P., Naumann, L.P., & Soto, C.J. (2008). Chapter four: Paradigm shift to the integrative big five trait  

Taxonomy. Dalam Oliver P. John, Richard W. Robins & Lawrence A.Pervin. Handbook of 

Personality: Theory and Research. (11) 

           

          

 

0 Response to "MAKALAH PSIKOLOGI KEPRIBADIAN Analisis Faktor Dan Teori Operant-Reinforcement"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel